Kapan Sebaiknya Aqiqah Dilaksanakan Menurut Sunah Nabi, Apa Boleh Saat Sudah Dewasa?
Kapan Sebaiknya Aqiqah Dilaksanakan Menurut Sunah Nabi, Apa Boleh Saat Sudah Dewasa?
Pelaksanaan aqiqah adalah salah satu tradisi penting dalam agama Islam yang dilakukan sebagai tanda syukur kepada Allah atas kelahiran seorang bayi. Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai waktu yang tepat untuk melaksanakan aqiqah, serta apakah boleh melakukan aqiqah saat seseorang sudah dewasa. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai waktu terbaik untuk melaksanakan aqiqah menurut sunah Nabi dan apakah aqiqah boleh dilakukan saat sudah dewasa.
Waktu Terbaik untuk Melaksanakan Aqiqah
Hukum aqiqah dalam Islam adalah sunah muakkadah, yaitu sunah yang sangat dianjurkan. Dengan demikian, pelaksanaan aqiqah adalah ibadah yang mendatangkan pahala dari Allah SWT. Para ulama sepakat bahwa aqiqah sebaiknya dilakukan oleh orang tua yang mampu secara finansial. Namun, bagi mereka yang benar-benar tidak mampu dan merasa bahwa aqiqah akan memberatkan, tidak ada sanksi dari Allah SWT jika mereka tidak melakukannya. Sebab, prinsip dasar dalam Islam adalah memudahkan manusia, bukan menyulitkan.
Hadits dan Sunah Nabi tentang Aqiqah
Aqiqah berasal dari kata Arab “al-aqiqah,” yang secara etimologis mengacu pada rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak dalam kandungan ibunya hingga saat kelahiran. Secara istilah, aqiqah merujuk pada penyembelihan hewan sebagai tanda syukur atas kelahiran seorang anak pada hari ketujuh, ke-14, atau ke-21 kehidupan bayi tersebut. Proses ini juga melibatkan mencukur rambut bayi dan memberikan nama kepadanya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Nabi, Samurah bin Jundub, Nabi Muhammad Saw menjelaskan aqiqah sebagai berikut: “Seorang anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya. Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.” (Shahih, HR Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasai 7/166, Ibnu Majah 3165)
Pernyataan ini diperkuat oleh tindakan Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad Saw, saat melahirkan putranya, Hasan. Beliau mencukur rambut putranya sesuai perintah ayahnya dan memberikan sedekah berupa perak dengan berat yang sesuai dengan berat rambut bayi yang dicukur. Rasulullah Saw juga pernah bersabda: “Cukurlah rambut bayi dan sedekahkan perak seberat timbangan rambutnya.” (HR. Ahmad: 6/390)
Aqiqah saat Dewasa (Balig), Apakah Boleh Dilakukan?
Saat membahas apakah aqiqah boleh dilakukan saat seseorang sudah dewasa, perlu dicatat bahwa aqiqah adalah tindakan yang dilakukan atas kelahiran seorang bayi. Proses ini memiliki makna dan tujuan tersendiri dalam Islam, yaitu sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas anugerah kelahiran. Oleh karena itu, konsep aqiqah tidak dapat diterapkan pada seseorang yang sudah dewasa, karena kelahiran telah terjadi pada masa lampau.
Jika seseorang ingin melakukan tindakan serupa sebagai bentuk syukur atau sebagai bentuk amal kebaikan lainnya saat sudah dewasa, hal tersebut bisa disebut sebagai sedekah atau ibadah lainnya yang memiliki nilai baik dalam Islam, tetapi bukan sebagai aqiqah. Aqiqah memiliki konteks khusus yang terkait dengan kelahiran dan ritual keagamaan pada saat itu.
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw, aqiqah seharusnya dilakukan pada salah satu dari tiga waktu yang telah ditentukan, yaitu pada hari ketujuh, ke-14, atau ke-21 dari hari kelahiran bayi. Ini adalah waktu yang telah diatur oleh sunah Nabi dan dianjurkan oleh banyak ulama. Proses aqiqah melibatkan penyembelihan hewan, mencukur rambut bayi, dan memberikan nama kepada bayi tersebut sebagai tanda syukur kepada Allah SWT.
Meskipun tradisi aqiqah telah ditetapkan dalam Islam, ada pandangan yang berbeda dalam hal apakah aqiqah boleh dilakukan saat seseorang sudah dewasa atau balig. Sejumlah tabiin (generasi setelah Sahabat Nabi) dan ulama seperti ‘Atha’, Al-Hasan Al-Bashir, dan Ibnu Sirin berpendapat bahwa aqiqah boleh dilakukan saat seseorang sudah dewasa, bahkan oleh dirinya sendiri, tanpa keterlibatan orang tua.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Syafi’i, Imam Al-Qaffal Asy-Syasyi (Mazhab Syafi’i), dan riwayat dari Imam Ahmad yang mengatakan bahwa seseorang yang tidak di aqiqahkan saat masih anak-anak boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa.
Mereka merujuk pada hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah diangkat sebagai Nabi, yang dikutip dari hadis Anas yang berbunyi: “Rasulullah mengaqiqahi diri sendiri setelah beliau diangkat sebagai Nabi, yakni setelah turunnya surat Al-Baqarah.” Namun, perlu dicatat bahwa hadis ini dianggap dhaif atau tidak sahih oleh sebagian besar ulama hadis.
Di sisi lain, ulama yang berpegang pada perspektif tradisional, termasuk Imam Syafi’i, berpendapat bahwa aqiqah adalah kewajiban orang tua atau wali yang menanggung tanggung jawab anak. Mereka berargumen bahwa aqiqah berkaitan erat dengan prosesi mencukur rambut bayi dan memberikan nama kepadanya, yang menjadi tanggung jawab orang tua.
Mereka berpendapat bahwa ketika seseorang sudah dewasa atau balig, maka tanggung jawab tersebut telah terpenuhi, dan tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri. Mereka juga menyatakan bahwa hadis yang digunakan sebagai dasar argumen pertama tidak sahih.
Meskipun ada pandangan yang berbeda dalam hal aqiqah saat seseorang sudah dewasa atau balig, mayoritas ulama cenderung mengikuti pendapat tradisional yang menekankan bahwa aqiqah adalah tanggung jawab orang tua atau wali yang menanggung. Meskipun ada riwayat hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw mengaqiqahkan dirinya sendiri, keabsahannya masih diperdebatkan dalam ulama hadis.
Penting untuk mencari panduan dari ulama yang terkemuka dan memahami konteks aqiqah sebagai bentuk syukur kepada Allah atas kelahiran bayi. Dalam prakteknya, aqiqah biasanya dilakukan oleh orang tua bayi dan tidak umum dilaksanakan oleh seseorang yang sudah dewasa.